Article contents
Variation and Composition in Java
Published online by Cambridge University Press: 07 March 2019
Extract
Javanese compositional process can be seen essentially as an act of creative recombination—of variation on extant musical pieces. At an extremely general level one could say this of any musical tradition around the world. In Java this description holds true to a rather specific level, as shall be demonstrated below with specific examples. The nature of Javanese compositional process may be brought into clear relief by considering first some of the musical conventions of Western tradition. Awareness of our own musical assumptions will sharpen our perception of features of another musical tradition.
Proses menggubah gendhing merupakan proses menyusun bahan dan pola dari gendhing-gendhing yang sudah ada. Proses ini bisa dikatakan proses variasi. Walaupun musik Barat pernah diciptakan dengan cara seperti ini pada jaman “medieval,” proses ini sudah lama dianggap kurang kreatif di dalam kesenian Barat. Akan tetapi, komponis Jawa biasanya tidak mengutamakan yang serba baru dan tidak menilai jelek gendhingyang banyak persamaannya dengan gendhing yang lain. Sebagai contoh, kami menelusuri hubungan-hubungan antara bendhing yang terdiri dari banyak gatra yang sama (termasuk Ladrang Wilujeng, Sri Yatna; Ketawang Puspawarna, Mayar-mayar). Contoh lain diambil dari gendhing-gendhing yang lebih besar (kethuk 2 kerep, minggah 4) yang mempunyai satu kenongan (empat gatra) yang sama atau hampir sama. Kalau kita meneliti balungan bentuk “nibani,” maka lebih banyak lagi gendhing yang mempunyai unsur yang sama. Dengan gendhing-gendhing tradisional ini, kita dapat contoh proses komposisi dalam tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut, sebagaimana kita ketahui, biasanya tergantung kepada hafalan dan penggunaan rumus (cèngkok). Ulangan/repetisi tidak menjadi masalah, melainkan memungkinkan.
Pada masa ini komponis gendhing baru biasanya masih terikat kepada karawitan tradisional dan tidak meninggalkan pokok dari karawitan itu. Misalnya, Ki Nartosabdho (almarhum) dan Ki Wasitodipuro (sekarang Ki Wasitodiningrat) menciptakan banyak gendhing dolanan yang tidak jauh bedanya dengan dolanan lama. Hanya di sana-sini ada unsur baru. Bahkan, komposisi eksperimental oleh ahli-ahli karawitan dari ASKI Surakarta yang dianggap cukup berani (seperti Bp. Rahayu Supanggah dan Bp. Sri Hastanto) ternyata menggunakan banyak unsur dari karawitan tradisional. Walaupun pola bentuknya komposisinya sudah lain dari gendhing tradisional, sebetulnya mereka tidak mau merusak tradisi atau menyaingi karawitan tradisional. Sebaliknya, mereka tetap “kerasan” dalam dunia karawitan yang merupakan warisan nenek-moyong. Mereka ingin mencari “potensi musikal” nya saja.
Kesimpulannya, kehidupan karawitan Jawa sejak dulu sampai sekarang tergantung kepada variasi yang tidak menuntut perubahan yang menyolok. Menggunakan bahan dan unsur yang telah ada di dalam gendhing lama merupakan cara yang wajar untuk menciptakan gendhing baru, baik dalam gendhing dolanan yang sangat disayangi rakyat, maupun dalam eksperimen dari ASKI yang dianggap cukup berani. Tujuan para komponis sekarang bukan menyaingi, melainkan melestarikan dan menyuburkan karawitan supaya tahan dan berkembang.
- Type
- Articles
- Information
- Copyright
- Copyright © 1987 by the International Council for Traditional Music
References
References Cited
- 1
- Cited by